Rabu, 29 Mei 2013

JIN

Jin memang diakui keberadaannya dalam syariat. Sayangnya, banyak masyarakat yang menyikapinya dengan dibumbui klenik mistis. Bahkan belakangan, tema jin dan alam ghaib menjadi salah satu komoditi yang menyesaki tayangan berbagai media.
Fenomena alam jin akhir-akhir ini menjadi topik yang ramai diperbincangkan dan hangat di bursa obrolan. Menggugah keinginan banyak orang untuk mengetahui lebih jauh dan menyingkap tabir rahasianya, terlebih ketika mereka banyak disuguhi tayangan-tayangan televisi yang sok berbau alam ghaib. Lebih parah lagi, pembahasan seputar itu tak lepas dari pemahaman mistik yang menyesatkan dan membahayakan aqidah. Padahal alam ghaib, jin, dan sebagainya merupakan perkara yang harus diimani keberadaannya dengan benar.
Membahas topik seputar jin sendiri sejatinya sangatlah panjang. Sampai-sampai guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan: “Bila ada seseorang yang menulisnya, tentu akan keluar menjadi sebuah buku seperti Bulughul Maram atau Riyadhus Shalihin, dilihat dari sisi klasifikasinya, yang muslim dan yang kafir, penguasaan jin dan setan, serta godaan-godaannya terhadap Bani Adam.”
——————————————
RAHASIA ALAM JIN – MISTERI KEHIDUPAN JIN – HAKEKAT JIN MENURUT AGAMA ISLAM – MENGATASI GANGGUAN KESURUPAN JIN

——————————————
Keagamaan Kaum Jin
Jin tak jauh berbeda dengan Bani Adam. Di antara mereka ada yang shalih dan ada pula yang rusak lagi jahat. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala menghikayatkan mereka:

وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَمِنَّا دُوْنَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا

“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shalih dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (Al-Jin: 11)
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَمِنَّا الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا

“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” (Al-Jin: 14)
Di antara mereka ada yang kafir, jahat dan perusak, ada yang bodoh, ada yang sunni, ada golongan Syi’ah, serta ada juga golongan sufi.
Diriwayatkan dari Al-A’masy, beliau berkata: “Jin pernah datang menemuiku, lalu kutanya: ‘Makanan apa yang kalian sukai?’ Dia menjawab: ‘Nasi.’ Maka kubawakan nasi untuknya, dan aku melihat sesuap nasi diangkat sedang aku tidak melihat siapa-siapa. Kemudian aku bertanya: ‘Adakah di tengah-tengah kalian para pengikut hawa nafsu seperti yang ada di tengah-tengah kami?’ Dia menjawab: ‘Ya.’
‘Bagaimana keadaan golongan Rafidhah yang ada di tengah kalian?” tanyaku. Dia menjawab: ‘Merekalah yang paling jelek di antara kami’.”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Aku perlihatkan sanad riwayat ini pada guru kami, Al-Hafizh Abul Hajjaj Al-Mizzi, dan beliau mengatakan: ‘Sanad riwayat ini shahih sampai Al-A’masy’.” (Tafsir Al-Qur`anul ’Azhim, 4/451)
——————————————
RAHASIA ALAM JIN – MISTERI KEHIDUPAN JIN – HAKEKAT JIN MENURUT AGAMA ISLAM – MENGATASI GANGGUAN KESURUPAN JIN

——————————————
Mendakwahi Jin
Dakwah memiliki kedudukan yang sangat agung. Dakwah merupakan bagian dari kewajiban yang paling penting yang diemban kaum muslimin secara umum dan para ulama secara lebih khusus. Dakwah merupakan jalan para rasul, di mana mereka merupakan teladan dalam persoalan yang besar ini.
Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan para ulama untuk menerangkan kebenaran dengan dalilnya dan menyeru manusia kepadanya. Sehingga keterangan itu dapat mengeluarkan mereka dari gelapnya kebodohan, dan mendorong mereka untuk melaksanakan urusan dunia dan agama sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dakwah yang diemban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah yang universal, tidak terbatas kepada kaum tertentu tetapi untuk seluruh manusia. Bahkan kaum jin pun menjadi bagian dari sasaran dakwahnya.
Al-Qur`an telah mengabarkan kepada kita bahwa sekelompok kaum jin mendengarkan Al-Qur`an, sebagaimana tertera dalam surat Al-Ahqaf ayat 29-32. Kemudian Allah menyuruh Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memberitahukan yang demikian itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا

“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jin telah mendengarkan Al-Qur`an, lalu mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur`an yang menakjubkan’,” dan seterusnya. (Lihat Al-Qur`an surat Al-Jin: 1)
Tujuan dari itu semua adalah agar manusia mengetahui ihwal kaum jin, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada segenap manusia dan jin. Di dalamnya terdapat petunjuk bagi manusia dan jin serta apa yang wajib bagi mereka yakni beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya, dan hari akhir. Juga taat kepada Rasul-Nya dan larangan dari melakukan kesyirikan dengan jin.
Jika jin itu sebagai makhluk hidup, berakal dan dibebani perintah dan larangan, maka mereka akan mendapatkan pahala dan siksa. Bahkan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diutus kepada mereka, maka wajib atas seorang muslim untuk memberlakukan di tengah-tengah mereka seperti apa yang berlaku di tengah-tengah manusia berupa amar ma’ruf nahi mungkar dan berdakwah seperti yang telah disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Juga seperti yang telah diserukan dan dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas mereka. Bila mereka menyakiti, maka hadapilah serangannya seperti saat membendung serangan manusia. (Idhahu Ad-Dilalah fi ‘Umumi Ar-Risalah, hal. 13 dan 16)
Mendakwahi kaum jin tidaklah mengharuskan seseorang untuk terjun menyelami seluk-beluk alam dan kehidupan mereka, serta bergaul langsung dengannya. Karena semua ini tidaklah diperintahkan. Sebab, lewat majelis-majelis ta’lim dan kegiatan dakwah lainnya yang dilakukan di tengah-tengah manusia berarti juga telah mendakwahi mereka.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu berkata: “Bisa jadi ada sebagian orang mengira bahwa para jin itu tidak menghadiri majelis-majelis ilmu. Ini adalah sangkaan yang keliru. Padahal tidak ada yang dapat mencegah mereka untuk menghadirinya, kecuali di antaranya ada yang mengganggu dan ada setan-setan.
Maka kita katakan:

وَقُلْ رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ. وَأَعُوْذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُوْنِ

“Ya Rabbku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabbku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (Al-Mu`minun: 97-98) [lihat Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin]
——————————————
RAHASIA ALAM JIN – MISTERI KEHIDUPAN JIN – HAKEKAT JIN MENURUT AGAMA ISLAM – MENGATASI GANGGUAN KESURUPAN JIN

——————————————
Adakah Rasul dari Kalangan Jin?
Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini, apakah dari kalangan jin ada rasul, ataukah rasul itu hanya dari kalangan manusia? Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّوْنَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُوْنَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِيْنَ

“Wahai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini?” Mereka berkata: ‘Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri’. Kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.” (Al-An’am: 130)
Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa ada rasul dari kalangan jin. Juga berdalilkan dengan sebuah atsar (riwayat) dari Adh-Dhahhak ibnu Muzahim. Beliau mengatakan bahwa ada rasul dari kalangan jin. Yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah Muqatil dan Abu Sulaiman, namun keduanya tidak menyebutkan sandaran (dalil)-nya. (Zadul Masir, 3/125) Yang benar, wal ’ilmu ’indallah, tidak ada rasul dari kalangan jin. Dan pendapat inilah yang para salaf dan khalaf berada di atasnya. Adapun atsar yang datang dari Adh-Dhahhak, telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (12/121). Namun di dalam sanadnya ada syaikh (guru) Ibnu Jarir yang bernama Ibnu Humaid yakni Muhammad bin Humaid Abu Abdillah Ar-Razi. Para ulama banyak membicarakannya, seperti Al-Imam Al-Bukhari telah berkata tentangnya: “Fihi nazhar (perlu ditinjau kembali, red.).” Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata: “Dia, bersamaan dengan kedudukannya sebagai imam, adalah mungkarul hadits, pemilik riwayat yang aneh-aneh.” (Siyarul A’lam An-Nubala`, 11 / 530). Lebih lengkapnya silahkan pembaca merujuk kitab-kitab al-jarhu wa ta’dil.
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Tidak ada rasul dari kalangan jin seperti yang telah dinyatakan Mujahid dan Ibnu Juraij serta yang lainnya dari para ulama salaf dan khalaf. Adapun berdalil dengan ayat –yakni Al-An’am: 130–, maka perlu diteliti ulang karena masih terdapatnya kemungkinan, bukan merupakan sesuatu yang sharih (jelas pendalilannya). Sehingga kalimat ‘dari golongan kamu sendiri’ maknanya adalah ‘dari salah satu golongan kamu’.” (Lihat Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 2/188)
——————————————
RAHASIA ALAM JIN – MISTERI KEHIDUPAN JIN – HAKEKAT JIN MENURUT AGAMA ISLAM – MENGATASI GANGGUAN KESURUPAN JIN

——————————————
Menikah dengan Jin
Menikah adalah satu-satunya cara terbaik untuk mendapatkan keturunan. Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkannya untuk segenap hamba-hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْكِحُوا اْلأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”(An-Nuur: 32)
Kaum jin memiliki keturunan dan anak keturunannya beranak-pinak, sebagaimana manusia berketurunan dan anak keturunannya beranak-pinak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ

“Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuh kalian?” (Al-Kahfi: 50)
Kalangan kaum jin itu ada yang berjenis laki-laki dan ada juga perempuan, sehingga untuk mendapatkan keturunan merekapun saling menikah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلاَ جَانٌّ

“Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (Ar-Rahman: 56)
Artha’ah Ibnul Mundzir rahimahullahu berkata: “Dhamrah ibnu Habib pernah ditanya: ‘Apakah jin akan masuk surga?’ Beliau menjawab: ‘Ya, dan mereka pun menikah. Untuk jin yang laki-laki akan mendapatkan jin yang perempuan, dan untuk manusia yang jenis laki-laki akan mendapatkan yang jenis perempuan’.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, 4/288)
Termasuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Bani Adam, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan untuk mereka suami-suami atau istri-istri dari jenis mereka sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (Ar-Rum: 21)
Perkara ini, yakni pernikahan antara manusia dengan manusia adalah hal yang wajar, lumrah dan sesuai tabiat, karena adanya rasa cinta dan kasih sayang di tengah-tengah mereka. Persoalannya, mungkinkah terjadi pernikahan antara manusia dengan jin, atau sebaliknya jin dengan manusia?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Pernikahan antara manusia dengan jin memang ada dan dapat menghasilkan anak. Peristiwa ini sering terjadi dan populer. Para ulama pun telah menyebutkannya. Namun kebanyakan para ulama tidak menyukai pernikahan dengan jin.” (Idhahu Ad-Dilalah hal. 16) 1
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan: “Para ulama telah berselisih pendapat tentang perkara ini sebagaimana dalam kitab Hayatul Hayawan karya Ad-Dimyari. Namun menurutku, hal itu diperbolehkan, yakni laki-laki yang muslim menikahi jin wanita yang muslimah. Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepada-nya…” (Ar-Rum: 21),
maka –maknanya– ini adalah anugrah yang terbesar di mana manusia yang jenis laki-laki menikah dengan manusia yang jenis perempuan, dan jin laki-laki dengan jin perempuan.
Tetapi jika seorang laki-laki dari kalangan manusia menikah dengan seorang perempuan dari kalangan jin, maka kita tidak memiliki alasan dari syariat yang dapat mencegahnya. Demikian juga sebaliknya. Hanya saja Al-Imam Malik rahimahullahu tidak menyukai bila seorang wanita terlihat dalam keadaan hamil, lalu dia ditanya: “Siapa suamimu?” Dia menjawab: “Suamiku dari jenis jin.”
Saya (Asy-Syaikh Muqbil) katakan: “Memungkinkan sekali fenomena yang seperti ini membuka peluang terjadinya perzinaan dan kenistaan.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
——————————————
RAHASIA ALAM JIN – MISTERI KEHIDUPAN JIN – HAKEKAT JIN MENURUT AGAMA ISLAM – MENGATASI GANGGUAN KESURUPAN JIN

——————————————
Meminta Bantuan Jin
Sangat rasional dan amatlah sesuai dengan fitrah bila yang lemah meminta bantuan kepada yang kuat, dan yang kekurangan meminta bantuan kepada yang serba kecukupan.
Manusia lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya daripada jin. Sehingga sangatlah jelek dan tercela bila manusia meminta bantuan kepada jin. Selain itu, bila ternyata yang dimintai bantuannya adalah setan, maka secara perlahan, setan itu akan menyuruh kepada kemaksiatan dan penyelisihan terhadap agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin. Maka jin-jin itu menambah ketakutan bagi mereka.” (Al-Jin: 6)
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: “Ada sekelompok orang dari kalangan manusia yang menyembah beberapa dari kalangan jin, lalu para jin itu masuk Islam. Sementara sekelompok manusia yang menyembahnya itu tidak mengetahui keislamannya, mereka tetap menyembahnya sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela mereka.” (Diambil dari Qa’idah ’Azhimah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 24)
Jin tidak mengetahui perkara yang ghaib dan tidak punya kekuatan untuk memberikan kemudharatan tidak pula mendatangkan kemanfaatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلاَّ دَابَّةُ اْلأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُوْنَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِيْنِ

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kematiannya itu kepada mereka kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Saba`: 14)
Jin tidak memiliki kemampuan untuk menolak mudharat atau memindahkannya. Jin tidak bisa mentransfer penyakit dari tubuh manusia ke dalam tubuh binatang. Demikian pula manusia, tidak punya kemampuan untuk itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يُؤْمِنُ بِاْلآخِرَةِ مِمَّنْ هُوَ مِنْهَا فِي شَكٍّ وَرَبُّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيْظٌ. قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ لاَ يَمْلِكُوْنَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَوَاتِ وَلاَ فِي اْلأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيْهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيْرٍ

“Dan tidak adalah kekuasaan Iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang itu. Dan Rabbmu Maha Memelihara segala sesuatu. Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi. Dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya’.” (Saba`: 21-22)
——————————————
RAHASIA ALAM JIN – MISTERI KEHIDUPAN JIN – HAKEKAT JIN MENURUT AGAMA ISLAM – MENGATASI GANGGUAN KESURUPAN JIN

——————————————
Gangguan Jin
Secara umum, gangguan jin merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi keberadaannya, baik menurut pemberitaan Al-Qur`an, As-Sunnah, maupun ijma’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ عَرَضَ لِي فَشَدَّ عَلَيَّ لِيَقْطَعَ الصَّلاَةَ عَلَيَّ فَأَمْكَنَنِي اللهُ مِنْهُ فَذَعَتُّهُ وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أُوْثِقَهُ إِلَى سَارِيَةٍ حَتَّى تُصْبِحُوا فَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ فَذَكَرْتُ قَوْلَ سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلاَم: رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي. فَرَدَّهُ اللهُ خَاسِيًا

“Sesungguhnya setan menampakkan diri di hadapanku untuk memutus shalatku. Namun Allah memberikan kekuasaan kepadaku untuk menghadapinya. Maka aku pun membiarkannya. Sebenarnya aku ingin mengikatnya di sebuah tiang hingga kalian dapat menontonnya. Tapi aku teringat perkataan saudaraku Sulaiman ‘alaihissalam: ‘Ya Rabbi anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku’. Maka Allah mengusirnya dalam keadaan hina.” (HR. Al-Bukhari no. 4808, Muslim no. 541 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mendirikan shalat, lalu didatangi setan. Beliau memegangnya dan mencekiknya. Beliau bersabda:

حَتَّى إِنِّي لأَجِدُ بَرْدَ لِسَانِهِ فِي يَدَيَّ

“Hingga tanganku dapat merasakan lidahnya yang dingin yang menjulur di antara dua jariku: ibu jari dan yang setelahnya.” (HR. Ahmad, 3/82-83 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Diriwayatkan dari ‘Utsman bin Abil ‘Ash radhiallahu ‘anhu, ia berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ حَالَ بَيْنِي وَبَيْنَ صَلاَتِي وَقِرَاءَتِي يَلْبِسُهَا عَلَيَّ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خَنْزَبٌ فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا. قَالَ: فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللهُ عَنِّي

“Wahai Rasulullah, setan telah menjadi penghalang antara diriku dan shalatku serta bacaanku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itulah setan yang bernama Khanzab. Jika engkau merasakannya, maka berlindunglah kepada Allah darinya dan meludahlah ke arah kiri tiga kali.” Aku pun melakukannya dan Allah telah mengusirnya dari sisiku. (HR. Muslim no. 2203 dari Abul ’Ala`)
Gangguan jin juga bisa berupa masuknya jin ke dalam tubuh manusia yang diistilahkan orang sekarang dengan kesurupan atau kerasukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Keberadaan jin merupakan perkara yang benar menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta kesepakatan salaful ummah dan para imamnya. Demikian pula masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah perkara yang benar dengan kesepakatan para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)
Dan dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ

“Sesungguhnya setan itu berjalan di dalam diri anak Adam melalui aliran darah.”
Tidak ada imam kaum muslimin yang mengingkari masuknya jin ke dalam tubuh orang yang kesurupan. Siapa yang mengingkarinya dan menyatakan bahwa syariat telah mendustakannya, berarti dia telah mendustakan syariat itu sendiri. Tidak ada dalil-dalil syar’i yang menolaknya.” (Majmu’ul Fatawa, 24/276-277, diambil dari tulisan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Idhahul Haq)
Ibnul Qayyim juga telah panjang lebar menerangkan masalah ini. (Lihat Zadul Ma’ad, 4/66-69)
——————————————
RAHASIA ALAM JIN – MISTERI KEHIDUPAN JIN – HAKEKAT JIN MENURUT AGAMA ISLAM – MENGATASI GANGGUAN KESURUPAN JIN

——————————————
Golongan yang Mengingkari Masuknya Jin ke dalam Tubuh Manusia (Kesurupan)
a. Kaum orientalis, musuh-musuh Islam yang tidak percaya kecuali kepada hal-hal yang bisa diraba panca indra.
b. Para ahli filsafat dan antek-anteknya, mereka mengingkari keberadaan jin. Maka secara otomatis merekapun mengingkari merasuknya jin ke dalam tubuh manusia.
c. Kaum Mu’tazilah, mereka mengakui adanya jin tetapi menolak masuknya jin ke dalam tubuh manusia.
d. Prof. Dr. ‘Ali Ath-Thanthawi, guru besar Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia mengingkari dan mendustakan terjadinya kesurupan karena jin dan menganggap hal itu hanyalah sesuatu yang direkayasa (lihat artikel Idhahul Haq fi Dukhulil Jinni Fil Insi, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu)
e. Dr. Muhammad Irfan. Dalam surat kabar An-Nadwah tanggal 14/10/1407 H, menyatakan bahwa: “Masuknya jin ke dalam tubuh manusia dan bicaranya jin lewat lisan manusia adalah pemahaman ilmiah yang salah 100%.” (Idhahul Haq)
f. Persatuan Islam (PERSIS). Dalam Harian Pikiran Rakyat tanggal 5 September 2005, mengeluarkan beberapa pernyataan yang diwakili Dewan Hisbahnya, sebagai berikut: “Poin 7 …Tidak ada kesurupan jin, keyakinan dan pengobatan kesurupan jin adalah dusta dan syirik.”
Semua pengingkaran atas kemampuan masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah batil. Hanya terlahir dari sedikitnya ilmu akan perkara-perkara yang syar’i dan terhadap apa yang ditetapkan ahlul ilmi dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata: “Aku pernah berkata pada ayahku: ‘Sesungguhnya ada sekumpulan kaum yang berkata bahwa jin tidak dapat masuk ke tubuh manusia yang kerasukan.’ Maka ayahku berkata: ‘Wahai anakku, tidak benar. Mereka itu berdusta. Bahkan jin dapat berbicara lewat lidahnya’.” (Idhahu Ad-Dilalah, atau lihat Majmu’ul Fatawa, 19/10)
Berikut ini pernyataan para mufassir (ahli tafsir) berkenaan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)
 Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu mengatakan: “Yakniq bahwa orang-orang yang menjalankan praktek riba ketika di dunia, maka pada hari kiamat nanti akan bangkit dari dalam kuburnya seperti bangkitnya orang yang kesurupan setan yang dirusak akalnya di dunia. Orang itu seakan kerasukan setan sehingga menjadi seperti orang gila.” (Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur`an, 3/96)
 Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menegaskan: “Ayat ini adalahq argumen yang mementahkan pendapat orang yang mengingkari adanya kesurupan jin dan menganggap yang terjadi hanyalah faktor proses alamiah dalam tubuh manusia serta bahwa setan sama sekali tidak dapat merasuki manusia.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 3/355)
 Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Yakni mereka tidak akanq bangkit dari kuburnya pada hari kiamat melainkan seperti bangkitnya orang yang kesurupan setan saat setan itu merasukinya.” (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/359)
——————————————
RAHASIA ALAM JIN – MISTERI KEHIDUPAN JIN – HAKEKAT JIN MENURUT AGAMA ISLAM – MENGATASI GANGGUAN KESURUPAN JIN
——————————————
Penyebab Kesurupan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan bahwa masuknya jin pada tubuh manusia bisa jadi karena dorongan syahwat, hawa nafsu dan rasa cinta kepada manusia, sebagaimana yang terjadi antara manusia satu sama lainnya. Terkadang -atau bahkan mayoritasnya- juga karena dendam dan kemarahan atas apa yang dilakukan sebagian manusia seperti buang air kecil, menuangkan air panas yang mengenai sebagian mereka, serta membunuh sebagian mereka meskipun manusia tidak mengetahuinya.
Kalangan jin juga banyak melakukan kedzaliman dan banyak pula yang bodoh, sehingga mereka melakukan pembalasan di luar batas. Masuknya jin ke tubuh manusia terkadang disebabkan keisengan sebagian mereka dan tindakan jahat yang dilakukannya. (Idhahu Ad-Dilalah Fi ‘Umumi Ar-Risalah, hal. 16)
Bagaimana kita menghindari gangguan-gangguan itu?
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menjelaskan: “Adapun orang yang melawan permusuhan jin dengan cara yang adil sebagaimana Allah dan Rasul-Nya perintahkan, maka dia tidak mendzalimi jin. Bahkan ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menolong orang yang terdzalimi, membantu orang yang kesusahan, dan menghilangkan musibah dari orang yang tertimpanya, dengan cara yang syar’i dan tidak mengandung syirik serta tidak mengandung kedzaliman terhadap makhluk. Yang seperti ini, jin tidak akan mengganggunya, mungkin karena jin tahu bahwa dia orang yang adil atau karena jin tidak mampu mengganggunya. Tapi bila jin itu dari kalangan yang sangat jahat, bisa jadi dia tetap mengganggunya, tetapi dia lemah. Untuk yang seperti ini, semestinya ia melindungi diri dengan membaca ayat Kursi, Al-Falaq, An-Nas (atau bacaan lain yang semakna, ed), shalat, berdoa, dan semacam itu yang bisa menguatkan iman dan menjauhkan dari dosa-dosa…” (Idhahu Ad-Dilalah, hal. 138)
Pembaca, demikian yang dapat kami paparkan di sini, mudah-mudahan dapat mewakili apa yang belum lengkap penjelasannya.
Wal’ilmu ’indallah.
1 Di antara ulama yang berpendapat terlarangnya hal itu adalah Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullahu. Beliau mengatakan: “Saya tidak mengetahui dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adanya dalil yang menunjukkan bolehnya pernikahan antara manusia dan jin. Bahkan yang bisa dijadikan pendukung dari dzahir ayat adalah tidak bolehnya hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 3/321)
Badruddin Asy-Syibli dalam bukunya Akamul Mirjan mengemukakan bahwa sekelompok tabi’in membenci pernikahan jin dengan manusia. Di antara mereka adalah Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Hajjaj bin Arthah, demikian pula sejumlah ulama Hanafiyah.
Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini

Selasa, 28 Mei 2013

Kewajiban Menunaikan Amanah

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian dalam keadaan mengetahui. ” (Al-Anfal: 27)
الْـحَمْدُ لِلهِ الَّذِي فَرَضَ عَلَى الْعِبَادِ أدَاءََ الْأمَانَةِِ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِمْ الـْمَكْرَ وَالْـخِيَانَةَ وَأشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ يَرْجُوْ بِهاَ النَّجَاةَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسُوْلُهُ الَّذِي خَتَمَ اللهُ بِهِ الرِّسَالَةَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الـْمَوْصُوْفُوْنَ بِالْعَدَالَةِ وسَلَّمَ تَسْلِيْمَا، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Mengawali khutbah ini kami berwasiat pada diri kami pribadi dan seluruh hadirin untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Yaitu agar kita menjaga dan membentengi diri dari kemarahan serta siksa Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan hal ini adalah dengan menjalankan perintah-perintah-Nya sekuat kemampuan kita serta dengan menjauhi segala larangan-Nya.

Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Di antara bentuk ketakwaan seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah dengan menjalankan dan menjaga amanah yang dipikulnya. Baik amanah yang berkaitan dengan kewajiban kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala seperti shalat, berwudhu, membayar zakat dan yang lainnya, maupun yang berkaitan dengan kewajiban kepada sesama manusia. Sehingga seseorang perlu memahami bahwa amanah itu sangat luas cakupannya. Dan amanah yang diemban oleh setiap orang tidak selalu sama dengan yang lainnya. Namun semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala nanti atas pelaksanaan amanah yang dipikulnya.
Hadirin rahimakumullah,
Perlu diketahui, bahwa menjalankan amanah dan menjaganya bukanlah perkara yang bisa dilakukan semudah membalik tangan. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan tentang beratnya amanah di dalam firman-Nya:
إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah (yaitu menjalankan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan meninggalkan seluruh larangan-Nya) kepada seluruh langit dan bumi serta gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat dzalim dan amat bodoh. ” (Al-Ahzab: 72)
Di dalam ayat tersebut kita mengetahui, bahwa makhluk-makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sangat besar tidak bersedia menerima amanah yang ditawarkan kepada mereka. Yaitu amanah yang berupa menjalankan syariat yang Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan melalui utusan-Nya. Mereka enggan untuk menerima amanah tersebut bukan karena ingin menyelisihi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bukan pula karena mereka tidak berharap balasan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sangat besar dengan menjalankan amanah tersebut. Akan tetapi mereka menyadari betapa beratnya memikul amanah. Sehingga mereka khawatir akan menyelisihi amanah tersebut yang berakibat akan terkena siksa Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sangat pedih. Hanya saja, manusia dengan berbagai kelemahannya, memilih untuk menerima amanah tersebut. Sehingga kemudian terbagilah manusia menjadi tiga kelompok.
Kelompok yang pertama adalah orang–orang yang menampakkan dirinya seolah-olah menjalankan amanah. Yaitu dengan menampakkan keimanannya namun sesungguhnya mereka tidak beriman. Mereka itulah yang disebut orang–orang munafik.
Kelompok kedua adalah orang-orang yang dengan terang-terangan menyelisihi amanah tersebut. Yaitu mereka tidak mau beriman baik secara lahir maupun batin. Mereka adalah orang-orang kafir dan musyrikin.
Sedangkan kelompok ketiga adalah orang-orang yang menjaga amanah yaitu orang-orang yang beriman baik secara lahir maupun batin.
Dua kelompok pertama yang kita sebutkan tadi akan diadzab dengan adzab yang sangat pedih. Sedangkan kelompok yang ketiga yaitu mereka yang beriman secara lahir dan batin, merekalah orang-orang yang akan mendapatkan ampunan serta rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini sebagaimana tersebut dalam ayat berikutnya dalam firman-Nya:
لِيُعَذِّبَ اللهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Sehingga Allah mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ” (Al-Ahzab: 73)

Hadirin rahimakumullah,
Amanah yang berkaitan dengan menjalankan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala atau ibadah ini, harus dilakukan dengan memenuhi dua syarat. Kedua syarat tersebut sesungguhnya merupakan realisasi dari dua kalimat syahadat yang selalu kita ucapkan. Kedua syarat tersebut, yang pertama adalah ikhlas dan yang kedua adalah harus dilakukan sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Oleh karenanya, wajib bagi kita untuk hanya mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala semata dalam menjalankan peribadatan kepada-Nya. Hal ini ditandai dengan istiqamahnya kita dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala baik ketika sendirian maupun ketika bersama orang lain. Sehingga kita tidak menjadi orang yang taat ketika dilihat orang lain namun bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika sendirian. Janganlah kita lupa bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui segala perbuatan dan mengetahui seluruh yang ada di dalam hati kita. Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
أَوَلاَ يَعْلَمُونَ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan?” (Al-Baqarah: 77)

Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Sedangkan untuk menjalankan syarat yang kedua, wajib bagi kita untuk berilmu dulu sebelum beramal. Sehingga kita tidak boleh seenaknya sendiri atau sekedar ikut-ikutan dalam tata cara peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita harus melakukannya dengan aturan dan tata cara yang telah ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena kalau tidak demikian, maka akan berakibat tidak diterimanya amalan kita. Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan seseorang untuk mengulangi wudhunya karena ada bagian anggota wudhu yang tidak terkena air. Begitu pula beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan seseorang untuk mengulangi shalatnya karena tidak thuma’ninah ketika menjalankannya.
Semua ini menunjukkan bahwa ibadah itu telah ditentukan aturannya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga kita harus senantiasa mengingat bahwa shalat, puasa, membayar zakat, menunaikan haji dan yang lain-lainnya dari bentuk-bentuk ibadah adalah amanah yang kita harus menjalankannya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Saudara-saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah,
Adapun amanah yang berhubungan dengan muamalah, yaitu yang berkaitan dengan menjalankan kewajiban kepada sesama manusia, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kita untuk menjalankannya dalam firman-Nya:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. ” (An-Nisa`: 58)
Sedangkan cara untuk menjalankan amanah ini, adalah dengan kita senantiasa menginginkan agar orang lain mendapatkan kebaikan sebagaimana kita menginginkan kebaikan itu pada diri kita. Hal ini sebagaimana sabda nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى يـُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُـحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. ” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sehingga seseorang yang bermuamalah dengan orang lain, semestinya melihat dan bercermin pada dirinya. Baik dalam hal jual beli, sewa-menyewa, bekerja pada pihak lain atau instansi tertentu, dan yang lainnya. Yaitu dia tidak ingin memperlakukan saudaranya dengan perlakuan yang tidak baik sebagaimana dia tidak ingin perlakuan tersebut menimpa dirinya.
Oleh karena itu seseorang yang menjual barang, misalnya, maka dia harus menjualnya dengan menjaga amanah. Tidak boleh bagi seorang penjual untuk mengkhianati pembelinya dengan berbuat curang dalam menimbang atau menakar. Dan tidak boleh baginya untuk berbuat dzalim dengan meninggikan harga karena si pembeli tidak mengetahui harga atau dengan menyembunyikan kerusakan atau cacat yang ada pada barang tersebut. Begitu pula sebaliknya, tidak boleh bagi pembeli untuk mengkhianati penjual dengan berdusta untuk mengurangi harga yang sesungguhnya. Atau dengan menunda-nunda pembayaran barang yang dibelinya padahal dia memiliki kemampuan untuk membayarnya.

Hadirin rahimakumullah,
Tidak boleh pula bagi seorang yang menyewakan tempat, kendaraan, dan yang lainnya untuk berkhianat kepada orang yang menyewa miliknya itu. Misalnya menipu orang yang menyewa dengan meninggikan biaya sewanya, atau menyewakan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dia tawarkan. Dan sebaliknya, tidak boleh bagi orang yang menyewa untuk menipu sehingga biaya sewanya lebih murah dari biaya yang semestinya, atau dia menggunakan barang sewaannya dengan tidak hati-hati sehingga berakibat rusaknya barang tersebut. Begitu pula orang yang bekerja pada sebuah perusahaan. Tidak boleh baginya untuk datang dan pulang seenaknya, tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, atau melakukan kesibukan lain di tempat kerjanya sehingga melalaikan dia dari tugas utamanya.
Saudara-saudaraku yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Termasuk dari menjaga amanah adalah yang berkaitan dengan pendidikan. Seorang pengajar harus berusaha menjaga amanah yang dipikulnya. Dia harus berusaha untuk menjadi contoh yang baik bagi anak didiknya. Karena terkadang anak didik lebih banyak melihat kepada sikap dan tingkah laku pengajar daripada apa yang disampaikan kepada mereka. Begitu pula dia berusaha menyampaikan ilmu yang bermanfaat dengan cara yang mudah dipahami oleh anak didiknya serta tidak memaksakan diri untuk menyampaikan pelajaran yang belum dikuasainya yang berakibat dirinya akan terjatuh pada perbuatan “berbicara tanpa ilmu”. Terutama yang terkait dengan masalah agama. Semuanya harus dilakukan dengan menjaga amanah.
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk menjaga amanah adalah yang berkaitan dengan tanggung jawab terhadap orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan pemeliharaannya. Semakin banyak atau semakin luas lingkup kekuasaannya maka semakin besar tanggung jawabnya. Maka seorang penguasa bertanggung jawab atas warga negaranya dan seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap bawahannya. Begitu pula seorang suami bertanggung jawab atas keluarganya, dan seterusnya.
Sudah semestinya bagi pemimpin rumah tangga untuk memelihara keluarganya dari hal-hal yang membahayakan mereka baik yang berkaitan dengan urusan dunia apalagi akhiratnya. Terlebih pada saat kerusakan dan kemaksiatan tersebar di mana-mana. Sebagaimana setiap orang tentu akan lebih berusaha menjaga hartanya ketika dia mendengar bahwa pencurian dan yang semisalnya tengah merajalela. Bahkan menjaga keluarga dan anak-anaknya dari kerusakan yang ada di sekitarnya semestinya lebih diutamakan dari menjaga harta. Karena melalaikan kewajiban ini akan menyebabkan munculnya generasi mendatang yang akan berbuat kerusakan di muka bumi ini. Juga karena setiap orangtua tentunya tidak menginginkan dirinya masuk ke dalam surga sementara anak-anaknya diadzab di api neraka. Oleh karena itu, semestinya kita berusaha menjaga amanah ini, sehingga mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkan kita semua dan keluarga kita dari api neraka serta mengumpulkan kita dan keluarga kita di dalam surga-Nya. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman dan yang keturunan mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami kumpulkan keturunan mereka dengan mereka di dalam surga dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. ” (Ath-Thur: 21)
وَفَّقَنـِيَ اللهُ وَإِيَّاكُمْ لِأَدَاءِ الْأمَانَةِ وَحَمَانَا جَمِيْعًا مِنَ الْإِضَاعَةِ وَالْـخِيَانَةِ وَغَفَرَ لَنَا وَلِوَلِدِيْنَا وَلِـجَمِيْعِ الْـمُسْلِمِيْنَ، إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ KHUTBAH KEDUA
الْـحَمْدُ لِلهِ الَّذِي وَعَدَ مَنْ حَفِظَ الْأمَانَةَ وَرَعَاهَا أَجْرًا جَِزيْلاً، وَتَوَعَّدَ مَنْ أَضَاعَهَا وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا وَبِيْلا، أَحْمَدُهُ عَلَى جَزِيْلِ نِعَمِهِ، أَشْكُرُهُ عَلَى تَتَابُعِ إِحْسَانِهِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، حَثَّ عَلَى أَدَاءِ الْأَمَانةِ وَحَذَّرَ مِنْ الْـخِيَانَةِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلَى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وسَلَّمَ تَسْلِيْمًا، أَمّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena dengan bertakwa kepada-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memudahkan segala urusan kita. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. ” (Ath-Thalaq: 4)

Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala di samping menyebutkan di dalam firman-Nya perintah untuk menjalankan amanah, juga menyebutkan kepada kita larangan untuk berbuat khianat. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian dalam keadaan mengetahui. ” (Al-Anfal: 27)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan kepada kita dalam ayat-Nya bahwa mengkhianati amanah adalah sifat orang-orang Yahudi, yang kita dilarang untuk meniru akhlak mereka. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لاَ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلاَّ مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا
“Dan di antara mereka (orang-orang Yahudi) ada orang yang jika kamu memercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. ” (Ali ‘Imran: 75)
Begitu pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitakan kepada kita bahwa mengkhianati amanah adalah sifat orang-orang munafik. Sebagaimana dalam sabdanya
آيَةُ الْـمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.
“Tanda-tanda orang munafiq ada tiga: Jika berbicara berdusta, bila berjanji tidak menepati janjinya, dan apabila diberi amanah mengkhianatinya. ” (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Dalam riwayat Al-Imam Muslim rahimahullahu disebutkan:
وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ
“Meskipun dia shalat dan puasa serta mengaku dirinya muslim. “

Hadirin rahimakumullah,
Maka sudah semestinya bagi kita untuk berusaha menjaga amanah yang telah kita terima. Baik yang berkaitan dengan kewajiban kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala maupun kepada sesama manusia. Akhirnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kita sebagai orang-orang yang bisa mengamalkan ilmu yang telah sampai kepada kita dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah kita dengar. Dan mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kita sebagai orang-orang yang senantiasa menjaga amanah yang ada di pundak-pundak kita.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الـْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَـهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمَ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالـْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْـمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ المُوَحِّدِينَ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْـمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ مَكانٍ. اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُبِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَدُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ. اللَّهُمَّ أَرِنَا الْـحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا اْلبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْلَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْـمُرْسَلينَ وَالْـحَمْدُ لِلهِ ربِّ الْعَالَمِينَ.
sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc